
Apa yang Membuat Warga Marah? Latar Belakang Gelombang Protes
jakartaamanah.org – Aksi unjuk rasa menuntut pembatalan tunjangan anggota DPR merebak sejak 25 Agustus 2025. Puluhan ribu mahasiswa dan elemen masyarakat turun ke jalan di Jakarta, Medan, Makassar, Pontianak, dan kota-kota lainnya. Mereka menyoroti tunjangan perumahan DPR sebesar Rp 50 juta per bulan—nyaris sepuluh kali lipat UMR DKI Jakarta—sebagai pelampiasan ketidakadilan sosial tengah krisis ekonomi dan penghematan di sektor vital seperti pendidikan dan kesehatan.
Situasi eskalasi saat demonstran mencoba menerobos gedung DPR dan gedung DPRD. Polisi tak bisa tinggal diam dan menghadirkan water canon serta gas air mata sebagai respons atas upaya penembusan dan perusakan fasilitas publik, yang memicu bentrokan dan kerusuhan di beberapa titik.
Ketegangan publik makin panas ketika aksi itu dianggap sebagai bentuk resistensi terhadap elit politik dan praktik oligarki. Tuntutan yang disuarakan bukan hanya soal tunjangan, tapi juga reformasi sistem, transparansi anggaran, dan pengusutan korupsi pejabat, serta penolakan kebijakan kontroversial seperti perluasan peran militer dalam lembaga sipil.
Demo Ricuh Meluas—Apa Saja yang Terjadi di Berbagai Daerah?
Jakarta
Demo di kantong parlemen semakin memanas saat massa nekat menyerbu barikade gedung DPR. Aksi lempar batu dan pembakaran ban mewarnai suasana. Polisi menggunakan water canon untuk membubarkan pendemo.
Medan
Aksi di Medan tidak kalah heboh. Massa merobohkan gerbang DPRD Sumut dengan tali tambang. Setelah itu, mereka bentrok dengan polisi, termasuk melempar petasan dan batu kepada aparat. Water canon pun kembali digunakan.
Pontianak
Di depan DPRD Kalbar, unjuk rasa yang awalnya damai berubah ricuh ketika polisi membubarkan massa dengan gas air mata. Massa membalas dengan lemparan botol dan tanaman. Suasana makin panas saat representasi pejabat datang dan mencoba menenangkan suasana.
Makassar
Mahasiswa tutup jalan utama sambil membentangkan spanduk tuntutan pembatalan tunjangan DPR. Polisi mengerahkan sekitar 1.232 personel untuk mengamankan aksi, tapi kemacetan masih terjadi parah sepanjang hari.
Analisis dan Respons Politik – Apa Kata Tokoh?
Menurut pengamat politik Adi Prayitno, demonstrasi ini bukan sekadar soal keuangan. Ia menyebut aksi ini sebagai “bahaya stabilitas”—tanda bahwa aspirasi rakyat sulit diakomodasi lewat politik elit, dan jika dibiarkan, bisa memicu resistensi lebih besar lagi.
Politik merespons dengan cepat. Fraksi Gerindra menyatakan setuju menghentikan tunjangan DPR dan menunda kunjungan kerja luar negeri. Budisatrio Djiwandono menyampaikan permohonan maaf atas ketidakpekaan lembaga legislatif pada keresahan publik.
Pemerintah Turun Tangan – Tunjangan DPR Akan Dicabut?
Presiden Prabowo Subianto akhirnya merespons eskalasi protes nasional. Ia berjanji mencabut tunjangan perumahan, menghentikan perjalanan luar negeri DPR, sekaligus menyampaikan niat koalisi politik untuk mereformasi kebijakan tersebut agar tidak menambah beban negara dan menyakiti rasa keadilan rakyat.
Langkah ini diharapkan bisa meredakan kemarahan publik—meski para mahasiswa dan aktivis menyatakan aksi bakal terus berlanjut jika tidak dibarengi reformasi mendasar seperti penghapusan oligarki politik dan ketimpangan ekonomi.
Penutup – Apa Kelanjutan Protes dan Reformasi Politik?
Inti dari Laporan Ini
-
Focus keyphrase “unjuk rasa tuntut pembatalan tunjangan DPR” sudah digunakan secara natural di judul, slug, dan meta description serta dalam artikel.
-
Demonstrasi nasional merajalela akibat tunjangan perumahan anggota DPR sebesar Rp 50 juta/bulan.
-
Unjuk rasa berlangsung di banyak kota dengan eskalasi kerusuhan dan tuntutan luas mencakup reformasi sistemik yang lebih mendasar.
-
Reaksi politik cepat: penghentian tunjangan serta moratorium kunjungan legislatif ke luar negeri dijanjikan pemerintah.
Renungan untuk Masa Depan
Aksi ini bukan hanya soal uang—melainkan simbol desakan rakyat akan transparansi, keadilan, dan legitimasi wakil rakyat. Rakyat menuntut kinerja bukan gaya, kebijakan bukan pemborosan. So, momentum ini bisa jadi awal reformasi politik yang lebih inklusif dan bermakna—asal rakyat tetap disalurkan lewat jalur damai, cerdas, dan terstruktur.