
Wacana “Pengampunan” Koruptor – Amnesti, Remisi, atau Pembebasan Bersyarat?
jakartaamanah.org – Pemerintah, di bawah Presiden Prabowo Subianto, pernah menyampaikan wacana pemberian amnesti atau pengampunan bagi koruptor yang bersedia mengembalikan kerugian negara. Hal ini sempat disampaikan langsung oleh Presiden saat menemui mahasiswa di Kairo, Mesir—dan menuai kritik tajam karena dinilai bisa melemahkan efek jera dan supremasi hukum. (Sumber: Reuters)
Jumlah narapidana yang berpotensi menerima amnesti disebut bisa mencapai ribuan. Meski begitu, Menkumham Supratman Andi Agtas menegaskan bahwa hingga kini tidak ada satu pun koruptor dalam daftar 44.000 napi yang direncanakan mendapat grasi atau amnesti.
Kritik Pedas dari Akademisi dan ICW – Lebih Efisien Perkuat Hukum, Bukan Kompromi
Hilangnya Efek Jera
ICW secara tegas menyebut bahwa pengampunan koruptor tidak akan memberi efek jera. Peneliti Diky Anandya menyoroti rendahnya pengembalian aset: hanya turun dari Rp56 triliun ke Rp3 triliun dalam lima tahun terakhir. Ia mendesak pengesahan RUU Perampasan Aset untuk memperkuat akuntabilitas.
Melanggar Moral dan Persamaan di Hadapan Hukum
Menurut politisi dan pakar hukum Yusril Ihza Mahendra, amnesti koruptor dapat diberikan sesuai konstitusi. Namun kritikus Hukumonline menyebut hal ini melemahkan tatanan hukum karena tidak memberi ruang untuk akuntabilitas.
Seruan dari Pakar Hukum dan Antikorupsi
Beberapa akademisi dan pakar hukum seperti Dr. Feri Amsari dan Novel Baswedan mengecam rencana ini sebagai ancaman nyata terhadap prinsip pemerintahan hukum dan menegaskan bahwa amnesti tidak seharusnya diberikan pada koruptor.
Transparency International Indonesia menyebut pendekatan semacam ini sebagai “dokter yang salah memberi obat”, karena justru dapat menggerus kepercayaan publik dan memperkuat budaya impunitas.
Saat “Pengampunan” Realistis Menatap Janji Antikorupsi
Legalitas Konstitusional vs Dampak Substansial
Secara legal, Presiden memiliki kewenangan memberikan amnesti (UU Darurat 11/1954). Namun, secara etis dan politik, memberikan amnesti pada korupsi—yang merugikan negara dan masyarakat luas—dinilai sangat sensitif dan berisiko mencederai sistem hukum.
Contoh Praktis: Kasus Setya Novanto
Setya Novanto mendapat pembebasan bersyarat setelah mendapatkan remisi, setelah ia divonis kasus korupsi e‑KTP. Proses hukum yang panjang dan kontroversial dianggap menciptakan preseden buruk tentang ringannya hukuman pelaku korupsi.
Alternatif yang Lebih Konstruktif
Alih-alih memberi jalan pendekat hukum instan seperti amnesti, perlu adanya reformasi sistemik pada aspek penegakan hukum, pemasyarakatan, dan perampasan aset—dengan transparansi tinggi dan akuntabilitas.
Penutup
Ringkasan Kontroversi Pengampunan Koruptor
Wacana amnesti terhadap koruptor—bahkan dengan syarat pengembalian aset—bertentangan dengan semangat antikorupsi dan dikritik tajam oleh masyarakat sipil dan akademisi. Meski legal secara konstitusional, langkah ini potensial melemahkan efek jera dan supremasi hukum, apalagi bila eksekusi tidak transparan dan akuntabel.
Harapan untuk Keadilan Tanpa Kompromi Hukum
Semoga pemerintah mengambil pendekatan yang lebih tegas: memperkuat penegakan hukum, mempercepat RUU Perampasan Aset, dan memastikan sistem pemasyarakatan menegakkan keadilan, bukan memuluskan kompromi. Karena hanya dengan langkah tuntas dan transparan, antikorupsi bisa jadi janji yang nyata.