
Refly Harun: Obat Bangsa Ini adalah Adili Jokowi dan Makzulkan Gibran
jakartaamanah.org – Dalam diskusi di kanal YouTube Sinkos Indonesia, pakar hukum tata negara Refly Harun melontarkan pernyataan yang memantik kontroversi serius: “Obat bagi penyakit bangsa ini adalah adili Jokowi dan makzulkan Gibran.” Pernyataan itu langsung meledak di publik, memicu perdebatan luas soal demokrasi, supremasi hukum, dan pemerintahan otoriter. Artikel ini mengupas alasan Refly, respons publik, serta prospek politik ke depan.
Konteks Pernyataan Refly Harun—Tuduhan Fundamental
Refly menggambarkan situasi politik Indonesia saat ini sebagai kondisi “abnormal”. Ia menyebut bahwa hanya dengan mewujudkan keadilan—menegakkan hukum terhadap pejabat tinggi—negara bisa sembuh dari krisis demokrasi. Dalam diskusi publiknya, ia menyoroti bahwa Rezim Jokowi dan figur politik seperti Gibran menunjukkan gejala nepotisme dan penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu, menurut Refly, jalan keluar adalah melalui proses hukum, yakni adili Jokowi dan makzulkan Gibran. Ini bukan semata kritik personal, tapi upaya restorasi prinsip keadilan dan supremasi hukum.
Refly menyoroti pentingnya legitimasi hukum dalam konteks demokrasi. Bila pejabat tertinggi dibiarkan bebas dari kritik atau prosedur hukum, maka akan tumbuh kultur impunitas. Ia menganggap proses hukum terhadap elite, bukan sebagai sabotase, melainkan bentuk pemulihan normatif kepada sistem yang sehat.
Respons Publik & Media—Apakah Ini Semata Retorika?
Pernyataan Refly langsung viral di media sosial dan media nasional. Banyak mendukungnya sebagai keberanian menyuarakan hak rakyat, tapi tak sedikit yang menganggap klaimnya radikal dan bisa memicu destabilitas politik. Kritik menyoroti bahwa kata ‘adili’ dan ‘makzulkan’ memiliki konotasi ekstrem dan bisa mudah disalahpahami.
Beberapa pengamat politik menekankan bahwa proses seperti pemakzulan adalah langkah luar biasa yang membutuhkan bukti kuat—bukan sekadar penilaian moral publik. Lembaga negara seperti DPR, MK, atau KPK memiliki mekanisme ketat yang menahan naluri politis populis semacam itu.
Namun seperti yang Refly katakan, dengan persentase publik yang frustasi terhadap elit, ini jadi momentum politisasi keadilan. Ia bukan menyerukan pelengseran sepihak, tapi menyampaikan aspirasi kuat terkait penegakan hukum—yang harus mendapat respons konstitusional, bukan represi.
Refly Harun dalam Sejarah Kritik Politik—Bukan Jejak Baru
Pernyataan ini bukan pertama kali Refly berbicara terkait kontroversi elite politik. Ia pernah menyebut bahwa Jokowi sempat dianggap hendak menjabat tiga periode, hingga sorotan soal ijazah Gibran yang tak konsisten dalam dokumen resmi.
Selain itu, ia juga mengecam kader DPR yang menyerang publik atas kritik demokratis, serta mendorong proses impeachment secara normatif. Sikap demikian menunjukkan bahwa kritik Refly sistemik—berbasis upaya memperbaiki tata kelola pemerintahan, bukan retorika semata.
Potensi Implikasi Politik & Hukum ke Depan
Apa implikasi pernyataan seperti ini?
-
Pressur terhadap elite politik—hasil suara masyarakat yang menuntut keterbukaan dan akuntabilitas.
-
Dialog publik tergencet atau makin ekspansif—tergantung media dan respons institusi.
-
Respon institusional—jika wacana didukung data dan bukti, DPR atau penegak hukum bisa membuka proses pra-adjudikasi atau klarifikasi resmi.
Namun, risiko politisasi proses hukum juga besar. Bila mekanisme dilewati, maka demokrasi bisa tergerus oleh populisme. Refly tampaknya berharap gubernur atau aktor mempertimbangkan pemulihan konstitusional daripada konflik jalanan.
Penutup—Refly Harun Sebut “Adili Jokowi dan Makzulkan Gibran” untuk Bangkitkan Demokrasi
Refly Harun memicu perdebatan tajam lewat pernyataannya: adil terhadap elite dan serius terhadap penegakan hukum adalah kunci membawa bangsa ini keluar dari krisis demokrasi. Bukan koordinasi politik, bukan simulasi kekuasaan—tapi pemulihan sistemik berbasis akuntabilitas.
Kalau ide ini ditindaklanjuti melalui mekanisme demokrasi, bukan konfrontasi, maka inilah wujud demokrasi yang sehat. Kalau tidak—ya akan terus jadi retorika tajam yang memecah.